RESENSI NOVEL : BAIT-BAIT CINTA
A. IDENTITAS BUKU
Judul buku : Bait-Bait Cinta
Pengarang : Geidurrahman Elmishry
Penerbit : Grafino Khazanah Ilmu
Kota : Jakarta
Tahun Terbit : 2008
Urutan Cetakan : Cetakan I, April 2008
Dimensi Buku (L x P) : 13 x 20 cm
Jumlah Halaman : 350 hlm.
Harga buku : Rp. 43.000 (Soft Cover)
Rp. 59.000 (Hard Cover)
B.SINOPSIS
Novel ini menceritakan kehidupan Jaka Suganda, seorang mahasiswa Indonesia di universitas Al Azhar yang merupakan tokoh utama dalam cerita ini. Dia adalah sosok yang dinamis, cerdas, dan menjadi aktivis di sekolahnya. Ia bertekad meneruskan belajarnya di universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, meski keadaan ekonominya tidak memungkinkan. Ia mendapatkan beasiswa dari Departemen Agama sehingga dapat melanjutkan studinya di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Selain itu biaya studinya juga dibantu oleh salah satu orang kaya dikampungnya, daerah Cipakat, Sukarema, Cipasung (sebuah desa di Tasikmalaya) yang bernama Haji Ismail.
Bantuan ini tidak lepas atas jasa anaknya yang bernama Fatimah, anak Haji Ismail sekaligus adik kelas Jaka ketika masih bersekolah di Madrasah Aliyah. Fatimah tahu Jaka ingin melanjutkan studinya di Kairo, niat Jaka ini disampaikan kepada ayahnya sehingga Haji Ismail mau membantu biaya kuliah Jaka. Selanjutnya, rasa simpati itu berubah menjadi rasa cinta.
Saat-saat sebelum keberangkatannya ke Mesir, Haji Ismail sempat dibuat berdecak kagum saat menyaksikan kecerdasan Jaka, terutama dalam hal sejarah lokal, seperti tentang tanah Galunggung, sebuah daerah di wilayah yang mereka huni. Selain itu pandangan-pandangan Jaka turut juga membawa simpati Haji Ismail, sebab Jaka dinilai sangat dewasa, meski ia baru lulus MAN. Hal ini membuat Haji Ismail tambah yakin dengan keinginannya untuk membantu membiayai kuliah Jaka di Mesir sampai selesai, dengan harapan kelak di daerahnya ada orang alim yang bisa mengajarkan ilmu agamanya.
Ketika Jaka sudah melanjutkan studi di Al-Azhar, Kairo, Mesir, ia berkenalan dengan seorang gadis berdarah Palestina bernama Amira yang juga sedang studi di Kairo. Awal cerita perkenalan inipun lantaran ada pertandingan bola basket antar wafidin (mahasiswa asing di Mesir), yakni antara mahasiswa Indonesia dengan mahasiswa Palestina. Perkenalan antara Amira dan Jaka disebabkan Muhammad Iyad, yang sering menceritakan keahlian Jaka dalam bermain bola basket, termasuk juga cerita kepribadiannya yang santun, dan wawasannya yang cukup luas.
Jaka bersimpati pada Amira karena seluruh keluarganya mati syahid dibunuh tentara Zionis Israel. Pertemanan Jaka dengan Amira pun berlanjut dengan cerita Asmara. Hal ini tak mengherankan sebab antar keduanya sama-sama mempunyai kelebihan, baik dalam hal fisik maupun yang lainnya. Sejak itulah Jaka kurang memperhatikan Fatimah, anak Haji Ismail, orang yang telah berjasa kepadanya.
Inti cerita di novel ini adalah konflik antara Israel dan Palestina yang diceritakan secara jelas. Konflik bernuansa agama ini sudah berlangsung sejak 1948 dan sampai sekarang belum juga menemukan jalan damai. Penyebabnya apa lagi kalau bukan Zionis Israel yang memang tidak ingin dan tidak akan pernah berdamai dengan kaum muslimin. Mereka sebagai bangsa pendatang melakukan migrasi besar-besaran diawal tahun 1930-an dan ingin mengusir penduduk muslim Palestina dari tanah airnya sendiri. Zionis Israel membunuh siapapun tidak peduli anak-anak, wanita atau orang tua.
Dalam setting lokalnya, di Cipakat, terjadilah babak kisah perjodohan antara Haji Ismail dengan Sukarta, orang tua Jaka. Keduanya setuju. Sebab Haji Ismail diam-diam ternyata berharap pada Jaka menjadi menantunya. Ia ingin mewujudkan cita- citanya mendirikan Pesantren di Cipakat. Maklum Haji Ismail adalah orang yang kaya raya, maka untuk membangun Pesantren tak begitu masalah.
Dalam babak perjodohan ini, Hajjah Ibu Murtamah, istri Haji Ismail, sempat tidak setuju dengan drama perjodohan Fatimah-Jaka, sebab ia sudah menganggap Jaka selama ini adalah anaknya sendiri. Karenanya tak mungkin menikahkan anak dengan anak. Sebelum akhirnya perasaan bersalah Ibu Murtamah itu mampu ditepis oleh Haji Ismail. Hingga bulat tekadlah mereka menjodohkan Fatimah-Jaka. Keluarga ini terlebih dulu mencarikan alternatif calon (yang hendak disandingkan dengan putrinya), kepada Kiyai Ghofur, Pengasuh Pesantren di daerahnya. Calon demi calon didatangkan, akan tetapi belum menemukan kecocokan, hingga akhirnya tercetus satu rencana lain, yakni rencana keluarga Haji Ismail yang ingin naik haji, termasuk juga Fatimah, serta akad nikah yang akan dilakukan di Mekah, saat mereka berhaji itu. Seperti gayung bersambut, Jaka sendiri kebetulan mendapatkan Temus (Tenaga Musim Haji) dari KBRI.
Jaka gamang karena datangnya berita dari Indonesia bahwa kedua orang tuanya menjodohkannya dengan Fatimah. Namun, Jaka tak sanggup meninggalkan Amira yang dirundung duka seorang diri. Keluarga angkat Amira, termasuk Mido, meninggal saat sedang berlibur. Tempat mereka menginap dijatuhi bom oleh tentara Israel, 200 orang meninggal, termasuk keluarga angkat Amira yaitu Satu keluarga Babah Miqdad, orang tua Muhammad Iyad, Paman Amira yang selama ini ia jadikan sebagai tempat bersandar, pengganti orang tuanya, semua meninggal dunia, termasuk Muhamamd Iyad.
Di satu sisi, karena Fatimahlah, Jaka bisa bersekolah di universitas Al-Azhar. Kalau bukan karena Fatimah yang menceritakan mengenai prestasinya, tentulah Haji Ismail, yang juga merupakan ayah kandung Fatimah, tidak akan menyekolahkannya ke Mesir. Namun, Jaka pun tak bisa mengelak dari benih – benih cinta yang tumbuh antara Ia dan Amira. Amira, yang merupakan gadis berdarah Palestina, merupakan anak angkat di keluarga Khalid, yang masih merupakan kakak dari ayahnya. Sementara kedua orang tua dan kakak kandungnya, masih menetap di daerah yang kini diduduki Israel.
Di tengah kegalauannya antara menerima Fatimah atau menerima ajakan Amira kembali ke Palestina, Jaka akhirnya mengambil sebuah keputusan yang sangat berat dan berarti bagi hidupnya. Selanjutnya Jaka akhirnya membatalkan temusnya (juga perjodohannya dengan Fatimah), dan lebih memilih bersama Amira pergi ke Palestina.
C.KEPENGARANGAN
Geidurrahman Elmishry adalah nama pena dari Aguk Irawan MN, Lc. Lahir di lamongan 1 April 1979. Sekolah di MA Negeri Babat sambil belajar kitab kuning di Pondok Pesantren Darul Ulum, Langitan, Widang, Tuban. Selama di MAN, ia belajar teater dan menulis puisi pada guru bahasa Indonesia, yaitu seorang penyair yang cukup terkenal di Lamongan; Pringgo. Kemudian ia melanjutkan kuliah di Al-Azhar University Cairo, jurusan Filsafat, dengan beasiswa Majelis A’la Al-Islamiyah.
Selama di Kairo, ia banyak menulis karya sastra di pelbagai lembaran pers Mahasiswa, terutama di Buletin Kinanah, dan berproses kreatif teater di sanggar yang turut ia dirikan, Kinanah. Sanggar ini, atas dukungan Gus Mus kemudian menerbitkan jurnal Kinanah di Indonesia, bekerjasama dengan LKiS Yogyakarta, dan ia dipercaya sebagai pemimpin redaksi. Ia juga menjadi aktivis di banyak organisasi, seperti PCINU-Mesir, KSW, dan pernah menjabat sebagai ketua umum senat Fakultas Ushuluddin Univ. Al-Azhar Mesir (PPMI 2001), sebelum akhirnya, ia sering dipercaya sebagai juri dalam berbagai apresiasi seni Mahasiswa, terlebih dahulu ia kerap memenangkan lomba karya tulis tingkat mahasiswa di Kairo, baik yang diadakan KBRI atau pers semisal Terobosan.
Di tingkat nasional, dia telah dipercaya sebagai Dewan Juri bertaraf Nasional, diantaranya sebagai salah seorang Dewan Juri tahap I, Khatulistiwa Award (2007), bersama Qory Izzatul Muna dan Joni Ariadinata dipercaya menjadi juri karya fiksi se-Jawa yang diadakan Ponpes Pandanaran, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta. Selain itu, berbagai forum dan festival sastra juga pernah mengundangnya untuk membacakan puisi, diantaranya bersama Sitor Situmorang “Mengintip ke Belakang, Menengok ke Depan” di Taman Ismail Marzuki Jakarta (2005), Forum Penyair Tiga Kota; Yogyakarta, Kulonprogo dan Purworejo (2008), duet dengan Joko Pinurbo di Forum Pendopo, Yogyakarta (2007), dan lain sebagainya.
Ada puluhan buku yang menghimpun tulisannya, baik itu fiksi, non fiksi, maupun terjemahan. Buku non-fiksi yang telah terbit diantaranya: Dari Lembah Sungai Nil (1998), Hadiah Seribu Menara (1999), Kado Milenium (2000), Negeri Sarang Laba-Laba (2002), Liku Luka Kau Kaku (2004), Sungai yang Memerah (2005), dan trilogi Risalah Para Penderita (2008). Sementara non fiksi, Menjadi Orang Beken (2008) bersama Isfah Abidal Aziz, menulis buku yang cukup tebal, Di Balik Fatwa Jihad (2007). Karya Drama Taufik El-Hakiem, Tahta Dzilali Syams (Di Bawah Bayangan Matahari) dan karya klasik Abu A’la El Ma’ary, Komedi Al-Illahiyah (Komedi Langit) adalah beberapa karya terjemahan sastra Arab yang dia buat.
Kini dia tergabung di lembaga Lesbumi, Yogyakarta dan dipercaya sebagai pemimpin redaksi Majalah Kalimah, juga Pengurus Pusat Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (PP-LKKNU) Jakarta, bidang riset dan Pengembangan.
D.KELEBIHAN DAN KEKURANGAN
Sekilas isi dari novel ini tampak sederhana karena merupakan cerita tentang seseorang yang menentukan pilihan pasangan hidupnya. Hanya saja, inti cerita itu dibingkai dalam kekuatan literer yang cukup kaya mengenai sejarah konflik Palestina-Israel yang dapat dilihat hampir disetiap bab. Selain itu, sejarah lokal tanah Galunggung, kerajaan Galuh, Majapahit yang dapat dilihat di halaman 59-65 dan 228-234 (hardcover) tampaknya semakin memperkaya mutiara hikmah bagi para pembaca.
Penggambaran latar Palestina dan Kairo secara cerdas dan runtut membuat pembaca seakan-akan berada di dalamnya. Geidurrahman mampu meng-infiltrasikan sudut pandang baru dalam konflik palestina yg terbungkus rapi dalam balutan roman dan pengetahuan mendalam tentang berbagai perilaku, budaya, sistem pemerintahan, dan adat istiadat mesir yg menjadi latar penceritaan.
Sayangnya, ada sedikit gangguan saat membaca, terkait dengan masalah catatan kaki. Pembaca terpaksa membolak-balik buku, untuk mengetahui arti dan maksud kata dan tempat yang tidak diketahui pembaca. Alangkah baiknya, jika keterangan tersebut diletakkan saja di bawah halaman bersangkutan, sehingga membaca pun jadi enak.
E.KESIMPULAN
Novel karya Geidurrahman Elmishry ini telah berhasil menyuguhkan kisah asmara yang romantis, dinamis, hangat dan penuh dengan tanggung jawab dengan tetap berlatar Arab-Mesir. Novel ini juga menceritakan sejarah lokal Indonesia serta memaparkan sejarah agama samawi dan pertikaian Palestina-Israel secara runtut yang sampai sekarang belum mencapai titik temu. Isinya mengandung nilai-nilai kehidupan yang dikemas dalam penyampaian yang sederhana dan mudah diterima pesannya oleh pembaca sehingga dapat membangkitkan motivasi untuk menjadi lebih baik.
Akhirnya, novel ini pantas dibaca karena memiliki nilai-nilai kehidupan dan mengandung cerita non-fiksi yang dapat menjadi literatur dalam memahami kebudayaan dan permasalahan yang ada di Mesir dan negara-negara sekitarnya.
Buku yang bagus, resensi yang apik
ReplyDeleteselalu tak pernah ingin berhenti mebalik halaman berikutnya